WELCOME

Sebuah Perjalanan Panjang Selalu Diawali Dengan Satu Langkah Awal Yang Dilandasi Oleh Tekad Yang Kuat

OPINIKU

LEMBAGA PENDIDIKAN ATAUKAH PRODUSEN IJAZAH?
Sebuah Refleksi


Ujian Nasional, 2 kata yang selalu memunculkan permasalahan dan perdebatan. Padahal, Ujian Nasional adalah agenda tahunan yang rutin dilaksanakan dan setiap pelaku di bidang pendidikan pasti sudah menyadari kehadirannya. Tapi anehnya, kecemasan selalu muncul sebagai sebuah permasalahan besar yang melahirkan permasalahan lainnya yang lebih besar.

Mari kita kembali mengingat musibah besar di dunia pendidikan yang terjadi pada tahun-tahun yang lalu, kecemasan akan ketidakberhasilan peserta didik dalam Ujian Nasional menimbulkan sebuah fenomena luar biasa. Media cetak dan elektronika telah menyebarkan aroma tidak sedap yang berasal dari sebuah dunia yang menyandang nama suci: Dunia Pendidikan. Dan aroma tidak sedap itu bernama: Kecurangan Yang Terorganisir Atas Nama Kemanusiaan. Sebuah nama yang ditulis dengan tinta berwarna abu-abu. Kenapa? Jawabannya sederhana: para pelaku tidak mendapat bayaran apapun atas perbuatannya memberi jawaban pada peserta ujian. Yang mereka lakukan hanya semata-mata berorientasi pada demi harga diri lembaga tempat mereka bekerja. Dan untuk membenarkan perbuatannya, mereka akan berkata: Demi siswa.

Yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah: Benarkah yang dilakukan itu demi siswa? Kalau benar demi siswa, demi apanya? Demi masa depannya ataukah demi mendapatkan ijazah?
Kalau jawabannya demi mendapatkan ijazah, mungkin sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional mempertimbangkan untuk membubarkan lembaga-lembaga pendidikan untuk kemudian mendirikan pabrik ijazah.

Kenapa harus dibubarkan? Jawabanya adalah karena kegiatan belajar mengajar mulai senin sampai sabtu selama tiga tahun tidak ada gunanya kalau toh pada akhirnya siswa diberi jawaban saat ujian nasional. Try out yang menghabiskan dana tidak sedikit juga menjadi tidak bermakna apapun kecuali bermakna pemborosan. Jadi, untuk apa mendirikan lembaga semacam itu? Toh yang dibutuhkan cuma selembar ijazah yang telah kehilangan makna.

Lalu kalau jawabannya demi masa depan siswa, masa depan yang seperti apa? Disadari atau tidak, perbuatan curang yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya seorang pendidik pasti akan terekam dalam memori siswa. Mungkin, saat para siswa dinyatakan lulus, para "pendidik" itu akan disanjung sebagai pahlawan oleh para siswa, orang tua dan juga oleh lembaganya. Tapi, bagaimana dengan 5 atau 10 tahun yang akan datang? Ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, para siswa yang pernah diberi jawaban itu akan merasa malu karena hasil yang pernah diperolehnya adalah hasil dari sebuah kecurangan. Dan rasa malu itu akan menjadi beban seumur hidup mereka kecuali dengan sikap kesatria mereka kemudian membakar ijazah yang didapatkan dengan cara curang itu. Dan yang terjadi kemudian adalah para siswa yang sadar itu akan mengutuk "pahlawannya".

Kemungkinan kedua, para siswa yang diberi jawaban saat ujian itu akan menganggap bahwa hal itu merupakan bagian dari proses pendidikan yang sedang mereka jalani. Lalu mereka akan menerapkannya dalam kehidupannya. Bukankah guru itu merupakan akronim dari digugu dan ditiru? Jadi, adalah wajar kalau kemudian para siswa itu akan meniru "pahlawannya". Tapi mudah-mudahan kemungkinan yang kedua ini tidak terjadi karena kalau sampai terjadi berarti Indonesia akan dipenuhi oleh orang-orang yang culas dan curang.

Sebenarnya yang paling masuk akal sebagai alasan atas kecurangan yang dilakukan adalah demi menjaga harga diri sekolah di mata masyarakat, di mata sekolah lain dan terutama di mata pengawas sekolah. Dengan lulus 100% diharapkan pada tahun pelajaran baru akan semakin banyak orang tua yang mengamanahkan anaknya untuk dididik di lembaganya. Kalau peminatnya banyak berarti sekolahnya bisa dianggap bagus dan berkualitas. Tapi walau ini adalah alasan yang paling masuk akal, tetap saja menimbulkan satu pertanyaan besar: Sebegitu mahalkah sebuah harga diri sehingga harus sampai mengguyurkan tinta hitam pada mental generasi penerus bangsa?

Tapi syukurlah, masih banyak pendidik yang benar-benar memahami arti kata mendidik. Masih banyak guru yang mampu bersikap yang benar-benar bisa digugu dan ditiru. Dan, masih banyak lembaga pendidikan yang berhasil menjaga "image" dengan cara yang mendidik.

Namun, ada berapa banyak orang tuakah yang kira-kira mampu menyalahkan dirinya sendiri jika putra/putrinya tidak berhasil dalam ujian? Ada berapa banyak orangkah yang mampu memahami bahwa guru bukanlah tuhan yang mampu merubah otak semua muridnya supaya bisa menyelesaikan soal ujian dengan hasil yang memuaskan? Ada berapa banyak pihakkah yang betul-betul menyadari bahwa hasil pendidikan seorang murid bukan hanya tergantung pada sekolah tapi juga pada masyarakat dan keluarga? Dan ada berapa banyak manusiakah yang benar-benar mengerti bahwa keberhasilan pendidikan bukan cuma didasarkan pada angka-angka yang terdapat pada Daftar Nilai Ujian Nasional?

Mari kita mulai menghitung dengan jujur untuk menjawab pertanyaan "berapa banyak" tadi. Setelah hasilnya diperoleh, mari kita bersama-sama melakukan investigasi mendalam dan tuntas untuk mencari pengkhianat pendidikan dan para pemberi jawaban soal ujian nasional. Tapi, siapa saja yang akan kita jadikan tersangka pengkhianat pendidikan?

Banyak. Diantaranya adalah para orang tua yang tidak pernah mengajak putra/putrinya belajar saat di rumah, lalu orang-orang yang bisanya hanya menyalahkan guru jika ada siswa yang gagal dalam ujian karena bagi mereka guru harus bisa mengubah otak semua muridnya menjadi jenius, kemudian masyarakat dan keluarga yang lebih senang jika seorang anak usia sekolah ikut menonton sinetron pada jam-jam belajar di rumah, dan mereka yang mendewakan Daftar Nilai Ujian Nasional (aspek kognitif) sehingga seorang murid yang memiliki keterampilan luar biasa, misalnya dalam bidang musik, akan dianggap bodoh jika hasil ujiannya jelek dan tidak lulus sekolah.

Walaupun kriteria orang yang bisa disebut sebagai pengkhianat pendidikan sudah diperoleh, sepertinya masih sulit untuk menemukan angka pasti sebagai jawaban pertanyaan "berapa banyak" tadi. Diakui atau tidak, bangsa kita belum pernah dididik untuk mengakui kesalahan dan kelemahan dirinya sendiri. Setiap kali ditodong dengan satu kesalahan, pasti akan muncul satu atau bahkan lebih argumen pembenaran. Setiap kali diberi cermin untuk mengetahui kelemahannya, yang dilihat cuma kerut-kerut dikeningnya sendiri karena tidak berhasil menemukan kelemahannya sendiri. Kalaupun dia berhasil menemukan kelemahannya, maka bola matanya akan bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mencari penyebab kelemahan itu di luar dirinya. Maksudnya jelas, yaitu mencari pembelaan atas kelemahan yang dimilikinya. Bahkan pembelaan itu kadang dilakukan secara membabi buta demi menyelamatkan dirinya dari rasa malu.

Akhirnya, jika para pengkhianat pendidikan dan pemberi jawaban soal ujian yang berhasil dihitung dan ditemukan ternyata jumlahnya terlalu banyak, ada baiknya kita kembali menata arah langkah kita dengan memilih salah satu dari dua pilihan: mendirikan lembaga pendidikan ataukah mendirikan lembaga penghasil ijazah?

Tapi jika ternyata tak seorangpun mampu menemukan angka yang pasti, hanya tinggal satu pertanyaan yang tersisa, yaitu: Ada apa dengan bangsa ini?

Ternyata, kecemasan akibat pelaksanaan Ujian Nasional memang telah menimbulkan sebuah permasalahan besar yang melahirkan permasalahan lainnya yang lebih besar. Mudah-mudahan pada tahun 2010 ini Ki Hajar Dewantara tidak lagi menangis di tempatnya yang damai.

Bantaran, 10 maret 2010

Tidak ada komentar: